LEGENDA GULUK-GULUK
Termasyhurlah raja muda kerajaan kecil di bagian penghujung timur pulau Madura. Kerajaan Songenep. Karena keahlian dan kelihaiannya ia telah menjadikan Songenep kota kerajaan yang aman dan tentram. Semua penduduknya menyenangi dan menghormati rajanya dengan sepenuh hati.
Jokotole, begitulah nama kebesarannya, belajar berbagai macam ilmu di Kerajaan Majapahit sejak ia masih kecil. Dari sanalah ia banyak makan garam kehidupan, kepemimpinan dan ilmu kanuragan.
Sepulang dari Majapahit, ia tidak langsung menjadi raja, melainkan masih melanjutkan pertapaannya di Gua Payudan selama sebelas tahun, hingga ia memperoleh dua cendramata berbentuk kendaraan kuda terbang yang bernama “sumekar” dan sebilah tongkat bernama “tongkat madura”.
Setelah Ayahandanya mangkat, kekuasaan kerajaan langsung dipasrahkan kepada Jokotole, satu-satunya putra mahkota yang memang telah dikader untuk melanjutkan tugas-tugasnya di kerajaan Songenep.
Dengan berbekal kepandaiannya, rakyat Songenep diajari bercocok tanam yang baik, beternak yang baik, menjadi nelayan yang baik, menjadi prajurit yang baik dan menjadi punggawa kerajaan yang baik pula sehingga kehidupan mereka semakin lama semakin maju.
Tapi ternyata, kemajuan yang digapai oleh Jokotole dan rakyat Songenep membuat kerajaan-kerajaan sekitar menjadi iri dan dengki. Mereka sama-sama melirik bagaimana bisa menguasai kerajaan Songenep dan mendapatkan kakayaannya. Namun mereka tidak punya keberanian untuk mengadakan penyerangan karena mereka harus berhadapan dengan kekuatan sumekar dan tongkat madura yang menjadi andalan Jokotole.
Semakin lama popularitas kerajaan Songenep semakin melebar, sampai ke kerajaan-kerajaan yang ada di luar Madura. Bahkan kebesaran Jokotole dengan sumekar dan tongkat maduranya terkenal juga ke Pulau Bali, sehingga membuat Dempo Awang, Raja di Kerajaan Bali yang terkenal dengan kendaraan perahu terbangnya, merasa ingin menjajaki kehebatan sumekar dan tongkat madura.
Pada suatu saat, Dempo Awang akan mengadakan agresi ke Madura, tujuannya hanya untuk menjejal kehebatan sumekar dan tongkat madura dengan perahu terbang dan pemanah saktinya.
Tepat pada waktu yang telah ditentukan, Dempo Awang berangkat mengendarai Perahu Terbang. Di dalamnya, bagian depan ditempati oleh pendeta-pendeta kerajaan dan nahkodanya, sedangkan di bagian belakang hanya perajurit-prajurit kecil dan pemanah handal.
“Jokotole, Jokotole ….! Dimana Kau? Keluarlah, temui aku bila kau tak ingin rakyatmu mati tanpa arti..!” Teriak Dempo Awang di angkasa.
Mulanya Jokotole tak ingin melawan tantangan Dempo Awang itu. Karena dalam pikirannya, untuk apa kita berperang? Bukankah peperangan itu hanyalah memenuhi hawa napsu saja?
“Ayo keluar Jokotole….” Teriak Dempo Awang lagi sambil melesatkan anak panahnya ke berbagai arah, sehingga banyaklah anak panah itu mengenahi rakyat yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa.
Saat itu Jokotole belum mau keluar, karena peperangan ini adalah peperangan yang sia-sia. Kematian yang sia-sia tidak boleh dilakukan. “Buat apa kita berperang? Bukankah setiap manusia menginginkan kedamaian dan perdamaian?” Pikir Jokotole.
Namun, melihat rakyatnya berlarian kucar-kacir sambil berteriak-teriak minta tolong dan bahkan banyak yang bergelimpangan dengan kondisi tubuh terluka. Membela rakyat adalah tugas mulia yang harus dilakukan. Dan ini jelas bukan hanya ingin menunjukkan kekuatan dan kehebatan pada orang lain. Ini bukan hanya untuk pamer ilmu kedigjayaan. Inilah perjuangan yang sebenarnya, membela rakyat yang tertidas. Akhirnya Jokotole keluar juga memenuhi tantangan Dempo Awang. Ia menunggang sumekar, si kuda terbang dengan sebilah tongkat di punggungnya.
“Ini aku, Dempo Awang.!! Kenapa kau serang rakyat yang takbersalah? Akulah lawanmu!” Kata Jokotole menyapa musuhnya yang dari Kerajaan Bali itu.
“Itu salahmu. Kenapa kau jadi pengecut?” Jawab Dempo Awang dengan galaknya.
“Ayo seranglah aku!” Tantang Jokotole dari atas kudanya.
Terjadilah pertempuran yang dahsyat di angkasa antara perahu terbang Dempo Awang dengan kuda terbang Jokotole. Beratus-ratus anak panah mengarah pada tubuh kuda terbang Jokotole. Namun si kuda terbang dengan tangkasnya melompat, berkelit, mengelak. Sekali sayapnya dihempaskan, kakinya diterjangkan ke belakang terdengarlah suara gemuruh yang dahsyat disertai bunyi “Tar, ter, tor” lalu anak panah yang melesat itu berjatuhan ke bawah dalam keadaan patah laksana hujan reranting.
“Terimalah seribu anak panah … “ Teriak Dempo Awang garang.
“Kok hanya seribu? Berikanlah yang sejuta, biar rakyatku tidak usah repot mengambil kayu bakar ke hutan!” Seruan Jokotole mengejek.
Semakin lama anak panah dari perahu terbang Dempo Awang yang menghujam kuda terbang Jokotole itu semakin banyak dan semakin banyak, sepertinya tak kan pernah habis hingga membuat pikiran Jokotole sedikit terkejut. Sementara kuda terbang juga mulai merasa lelah menghadapi serbuan anak panah itu, lalu kakinya terpeleset dari pijakannya di awan.
“Ha ha ha…. Matilah kau Raja bodoh.” Dempo Awang menyorak dengan congkaknya.
Kuda terbang jatuh. Saat itu Jokotole merasa kalah. Pikirannya hampa. Tak ada harapan. Ia ingat bagaimana nasib rakyatnya nanti kalau Songenep dikuasai oleh Dempo Awang.
Tapi baru seratus miter di bawah perahu terbang Dempo Awang, Jokotole ingat bahwa dari tadi masih belum mengeluarkan senjatanya, si Tongkat Madura. Ia berusah konsentrasi dan bersemidi di atas punggung kuda terbangnya, baru beberapa kejap tongkat madura telah berada di tangan kanannya dan siap ditebaskan.
“Jangan pongah dulu Raja Sombong. Terimalah ini senjata andalanku! Heat ….” Jokotole mendongak ke atas, dari tongkat madura di tangan kanannya memancarkan sinar kekuningan, lalu di pukulkan ke arah perahu terbang Dempo Awang. “Daaarrr…” seperti bunyi ledakan bom yang maha dahsyat dari benturan tongkat madura dengan perahu terbang.
Ternyata, ketika perahu lagi mengarah ke barat, pukulan Jokotole mengenai sasaran, perahu terbang itu pecah terbelah dua. Bagian belakang yang ditempati prajurit kecil dan pemanah terjatuh di desa Pragaan. Para prajurit kecil dan pemanah menjadi bingung, mereka tidak punya bekal sama sekali. Untuk pulang lagi ke Bali, tidak mungkin lagi karena perahu mereka talah hancur. Akhirnya mereka masih bisa makan dan bertahan hidup di sana dengan cara meminta-minta pada tetangga setiap hari. Sampai sekarang, keturunan prajurit dan pemanah Dempo Awang di desa Pragaan melestarikan tradisi meminta-minta sebagai warisan dari leluhur mereka.
Bagian depan perahu terbang yang ditempati oleh pendeta dan punggawa kerajaan meluncur ke arah barat kira-kira 10km dan terjatuh di Talangsiring, lalu mereka di sana mendirikan Vihara dan sekarang menjadi satu-satunya Vihara terbesar di Madura karena memang didirikan langsung oleh Pendeta-pendeta Budha dari Bali.
Sementara setelah tongkat madura dan perahu terbang benturan keras, Jokotole dan kuda terbangnya pun terpental dan terjatuh di puncak sebuah bukit di utara Pragaan. Jokotole lepas dari kuda terbangnya. Jokotole berguluk-guluk sepanjang 2km ke utara. Dan tempat kejadian ini sekarang diberinama Luk-Guluk (berguling-guling).
16 April 2006
Star’sh.
Apa ada referensinya carita ini?
BalasHapusPak, apakah cerita asal mula Guluk-Guluk ini ada referensinya?
BalasHapusIni merupakan cerita rakyat yang sudah lama beredar. Namun sumber utamanya tidak ditemukan.
HapusMantap
BalasHapusMantap
BalasHapusIni baru komentar. B
BalasHapus